Menjelang bulan Desember, yaitu bulan suci untuk umat Kristiani, maka ijinkan saya meletakkan sebuah tulisan yang agak “serius” di sini. Tulisan hasil jalan-jalan sehari di daerah Kota, tepatnya di Gereja Sion. Tulisan awalnya lebih dari 1000 kata, namun untuk majalah, maka tulisan disunting lagi oleh mas Mahandis Yoanata menjadi lebih singkat. Tulisan ini dapat ditemukan di Majalah National Geographic Indonesia edisi Desember 2016. Selamat membaca!
“Alhamdulillah, gereja nggak jadi dibakar. Padahal pintu pagar udah dijeblakin!” kata Tasum mengenang sebuah peristiwa yang terjadi hampir dua dasawarsa silam, tepatnya saat kerusuhan 98. Siang itu, dia menceritakan pengalamannya selama bertugas sebagai koster gereja. Lewat catatan sejarah yang saya baca, Belanda membangun gereja, yang berada di luar tembok Kota Batavia, untuk budak-budak asal Portugal yang dimerdekakan oleh VOC.
Tasum, yang asal Cirebon, merantau ke Jakarta karena ingin mengadu nasib. Awalnya, dia berdagang es dan minuman di sekitar gereja. Namun, takdir menentukan nasibnya. Ia diminta untuk membantu kebersihan gereja pada 1987, lalu diangkat menjadi pegawai negeri sekitar dua dasawarsa kemudian.
“Saya itu tugasnya memelihara gereja. Bersih-bersih, nyapu, ngepel, pelihara halaman, membersihkan sarang laba-laba, mengantar tamu, sampai kontrol kayu yang lapuk,” ujar Tasum.
“Ada tips supaya kayu tidak cepat lapuk. Ketika dilap, lapnya setengah basah saja agar debu terangkat, tapi air tidak masuk ke badan kayu.”
Saat saya menapaki ke dalam Gereja Sion, saya merasakan kehadiran nuansa interior khas Eropa lama. Hendrik Bruijn telah merancang langgam Barok untuk menciptakan gereja sekaligus karya seni yang mengagumkan, seperti mimbarnya.
Bruijn merancang mimbar tampak seperti cawan anggur berukuran besar, dibuat dari eboni alias kayu jati hitam yang sangat kuat. Ditutup kanopi megah, ditopang dua buah tiang berulir, dan empat tonggak perunggu. Plus, ornamen ukir yang menambah kesan mewah.
Saya mendongak ke langit-langitnya. Amboi, langit-langit gereja ini sungguh megah dengan balok-balok besar dari jati hitam dan enam pilarnya. Banyak orang menyebutnya enam malaikat karena bangunan sebesar itu hanya disokong oleh enam pilar. Saya berpikir, apakah ini buah keajaiban atau buah kejeniusan?
Sambil bercerita, Tasum dan saya beranjak meniti tangga kayunya menuju balkon. Saya menyaksikan sebuah orgel atau orgen seruling besar yang diyakini sebagai pemberian putri pendeta bernama John Maurits Moor pada 1860. Cara memainkannya, tuts ditekan layaknya piano. Namun, orgel berbunyi apabila ada udara yang terpompa ke dalamnya. Kurang lebih sama dengan cara menggunakan akordeon. Ketika Tasum membuka lemari di samping orgel yang tingginya sekitar dua meter, tampak 600 suling yang tersambung.
Nama sejatinya adalah Portugeesche Buitenkerk. Awalnya, sekadar pondok belajar agama di tanah kuburan. Kemudian, tempat ibadah ini resmi dibuka pada 23 Oktober 1695, dan hingga detik ini masih digunakan sebagai tempat ibadah.
“Jika statusnya bukan cagar budaya, maka akan disia-siakan. Apalagi jika statusnya bukan tempat ibadah, mungkin ada pihak-pihak yang ingin menyalah gunakan,” kata Tasum. Cerita Tasum cukup berdasar. Pada 1953, Gereja Sion hampir dijual untuk dijadikan pabrik. Untunglah, negeri ini memiliki seorang cerdas yang mencegah terjadinya pembelian itu. Dia adalah Muhammad Yamin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Saya berjalan menuju pekarangan gereja. Bayangkan saja, pada 1790, ada lebih dari dua ribu makam berada di sekitar sini! Namun, kini menyisakan kurang dari selusin makam dengan beragam latar sosial. Ada nisan paling raya milik Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon dengan berbagai simbol heraldik tradisi Eropa: helm, baju zirah, kalung salib, tengkorak, hingga perisai.
Namun, ada simbol yang menarik perhatian saya dalam perisai itu: sebuah heraldik pedang yang ujungnya patah. Kabarnya, simbol ini bermakna jiwa yang sudah bebas. Namun bisa berarti juga “pedang” untuk perlindungan— seperti nama pemiliknya, “zwaard”. Konon, dia mewasiatkan untuk dimakamkan bersama warga biasa.
Gereja Sion berdampingan dengan sekolah dasar milik yayasan. Tasum tampak akrab dengan anak-anak berseragam pramuka di bawah lonceng gereja yang bertengger di pekarangan. Lonceng itu dibikin pada 1675, yang lebih tua dari bangunan gerejanya! Pak Tasum adalah seorang muslim. Saya pun tergelitik bertanya, apakah keluarga tidak ada yang menentang bekerja sebagai penjaga gereja?
Dia menjawab enteng, “Di keluarga saya tidak ada yang menentang. Kerjaan saya ini halal.” Ketika saya hendak berfoto diri demi memuaskan nafsu Instagram, Tasum bersedia membantu. Saya pun bergaya bak selebritas. Dia berseru di balik kamera saya, “Tenang saja Mbak, saya ngerti. Saya pernah jadi tukang foto keliling kok!” Anak-anak tergelak menyaksikan polah saya. Hari itu kami telah memudarkan siang yang menggarang.
[youtube]
[/youtube]Titiw Akmar
Penulis berdarah Bugis, yang menggemari perjalanan wisata laut dan gunung. Ini adalah cerita pertamanya untuk majalah National Geographic Traveler.
19 thoughts on “Gereja Sion: Gereja Titisan Portugis”
baru tau kalo ada gereja yang udah tua banget di Jakarta. kapan2 kalo lagi sempet berkunjung ke sana ah.
eh tapi, kalo kunjungan wisata gitu, boleh ga ya? biasanya kalo masih aktif digunakan untuk ibadah, agak susah =- dan sungkan juga.
Aku udah tanya sama penjaga gerejanya. Katanya boleh aja kok, yang perlu ijin kalo ada wawancara dll. Kalo cuma main-main dan foto2 gak masalah asal isi buku tamu.
Seneng ya mbak masih ada tempat bersejarah yg msh kokoh dan difungsikan hingga skrng
TFS :)
Sama-sama mbak, main-main ke Gereja Sion kalo sempet. Bagus untuk foto-foto juga. :)
saya juga pengin main kesana mba kapan-kapan, hehehe
Sok atuh main. :)
waaah ada gambar makam Opa Zwaardecroon
Beda deh yang tukang kuburannn paling ngertiii cuma liat sekilas aja. Hahahaha
Kok keren yah, selalu WAH deh kalo liat interior gereja, pernah foto di depan salah satu gereja di Burwood, Sydney, itu gw melongooo, jadul tapi kuereeennn….
Gak usah jaoh2 kak, di Gereja Katedral aja aku merindiing.. Gile yaaa, jaman dlu itu kalo bikin gedung2 niat bangetttt. Tetep awet sampe sekarang. Gereja tua aja bertahan. Masa relationship kita gak bertahan siisss? :))
Sejarah panjang gereja ini semoga tetap dinikmati anak cucu. Mungkin itulah pemikiran Muhammad Yamin ketika menyelamatkan gereja ini. Sejarah kan tidak bisa dibeli.
Itu makam kok gak diberi pagar, atau apalah menghormati yang meninggal.
Nah, aku kurang paham juga kenapa tidak dipagari. Secara ini gereja seisinya dulu makam semua kaaak
Mengaminkan doa-doa dan harapannya. Semoga 2017 makin seru dan gembira yes
Aamiin! Thanks kak rere! :D
Pak Tasum pengalamannya banyak ya! Foto hasil jepretannya ok juga :)
Banyak banget kaaaak. Ada beberapa cerita yang off the record jugaa x)
Sudah lama aku kepengen berkunjung ke Gereja Sion ini Kak tapi belum kesampaian. Semoga bisa segera ke sana dan ketemu Pak Tasum yang gaul ;)
Yaaay! Ayo kak ke siini, banyak cerita2 seruu!
Luar biasa gerejanya.