Jazz On A Rainy Afternoon

Dear Sore,

Sore selalu menjadi bagian waktu yang romantis bagi saya yang entah kapan atmosfer itu mula-mula tercipta. Tapi jika mau meraba-raba, SMA merupakan jenjang dimana saya ingat bahwa sore lebih utama dibandingkan waktu yang lain. Dulu, jika pulang sekolah tidak ada tambahan pelajaran atau les-les ini itu, saya lebih memilih tidur siang. Tinggal membuka jendela di samping ranjang dan berganti baju sekolah, mimpi di siang bolong langsung memanggil-manggil saya untuk terlelap. Bagi saya, tidur siang itu sakral seperti sakralnya pernikahan para artis kelas 2 yang melarang wartawan untuk menginjak tempat ia menikah dan meliput dengan siapa ia menikah.

Sampai sekarang, saya lebih toleransi dengan dering telpon genggam yang berteriak di malam hari ketimbang dengan bunyi beep pelan tanda pesan singkat di siang hari. Bangun kira-kira pukul 4 dengan leleran peluh di tubuh, membikin tidur siang terasa lebih nikmat. Upacara menyembah sore hari pun dimulai. Dengan perlahan saya berjalan menuju teras rumah dengan membawa sebuah buku yang belum usai dibaca dan tak lupa membawa pemutar lagu portable (baca: walkman). Tentu saja sepiring pisang gorang dan segelas teh manis hangat buatan ibunda menjadi hidangan utama. Sore akan terasa lebih lengkap jika cuaca sedikit mendung dan rintik itu menetes sedikit.

Pilihan lagu yang tepat untuk suasana tersebut adalah album “Jazz For A Rainy Afternoon“. Alunan saxophone dan denting piano yang melodis dan bertautan seakan menenggelamkan jiwa dalam euforia yang bangkit dalam rangka menikmati sore. Pekik anak-anak kecil yang wajahnya dibedaki dengan asal oleh para orangtua mereka bergaung dalam keindahan sore pula. Dalam video di otak saya, anak-anak itu berlari dan tertawa dalam gerakan lamban alias slow motion.

Beranjak ke bangku kuliah, saya sedikit kehilangan momen sore yang seharusnya dinikmati dengan pelan dan khidmat. Ini dikarenakan kuliah saya yang berjalan sejak siang hingga menjelang magrib. Namun sesering mungkin saya tetap meluangkan waktu untuk bercanda dengan diri sendiri dalam pelukan sore. Ya, waktu istirahat pukul setengah empat sore saya gunakan untuk minum segelas teh manis hangat (yang tentu saja tidak senikmat buatan ibu), serta roti seribuan yang cukup menenangkan cacing-cacing cerewet di dalam usus yang berjari 12.

Saya ingat ada seorang karib yang berkata :”Tiw, aduh lo tuh kemana aja sih.. Untung gw inget kalo tiap sore lo pasti di kafe sini kongkow sendirian”. Oh ya, kafe merupakan sebutan bagi kantin yang tidak terlalu ramai akan mahasiswa di situ. Bukan kafe yang sebenar-benarnya kafe. Jangan aneh loh, meskipun saya terlihat memiliki teman yang banyak, saya tidak ekslusif. Saya main dengan siapapun yang saya mau, dan kapanpun saya mau. Dan sore adalah waktu terlarang untuk bersosialisasi dengan mereka. Saya sangat egois dalam hal ini, karena saya ingin menikmati sore untuk diri sendiri.

Kalaupun saya sudah pulang kuliah di sore hari, perjalanan di dalam kereta tidak kalah romantis. Dengan tetap berbekal walkman di saku, perjalanan pulang dengan menatap senja dibalik kereta jendela berkarat itu tetap indah. Penjaja minuman riang yang bercanda dengan tukang koran sore, anak kecil yang bermain layangan dengan rambut kemerahan, hingga arak-arakan awan yang terlihat bagai unggunan kapas besar pun dapat membentuk senyum di bibir ini.

Saya pun membuat teori kecil-kecilan bahwa orang yang melewatkan sore tanpa senyum sedikitpun dan jamak mengucapkan kata S**T ataupun F**K pasti tidak pernah mendengar kompilasi lagu dalam “Jazz on A Rainy Afternoon”, ataupun merasakan nikmatnya teh bikinan ibu mereka.

Sekarang ini saya sudah bekerja di tempat yang tidak dapat menikmati sore yang layak. Namun sebisa mungkin saya membuat teh hangat yang rasanya tidak keruan di pantry yang berantakan sambil menunggu waktu yang menggambarkan jarum kecil di angka 5 dan jarum panjang di angka 12. Mudah-mudahan rasa penat itu luruh dan saya dapat bertemu lagi dengan sore yang saya kangeni. Semoga.

-Seseorang yang selalu merindumu-

-Pondok Bambu, 21 Januari 2009-

(c) Album cover

13 thoughts on “Jazz On A Rainy Afternoon”

  1. Bravo… bravo…

    gue suka banget tulisan lo tiw… Jadi inget tulisannya SGA

    Kukira kamu masih ingat senja di pantai itu Alina. Senja yang memastikan bahwa hari telah berlalu, dan kita hanya bisa saling memandang, serta berkata diam-diam dalam hati : ” Betapa waktu begitu singkat.” Waktu memang tak akan pernah cukup Alina, tak akan penah cukup untuk sebuah keinginan yang memang tidak akan mungkin terpenuhi, seperti begitu banyak cita-cita tersembunyi selama-lamanya. Barangkali kita hanya harus merasa semua ini sudah cukup, dan bersyukur karena sempat mengalami saat-saat yang indah. Seperti perasaan kita ketika memandang matahari senja, yang toh tak bisa tetap tinggal di sana.

    Sore emang ajaib yak…

  2. sore……..suatu titik pertemuan antara akhir realita dengan awal mimpi….memang tempat sementara yg paling nyaman….

  3. Tiw… klo buat teh hangat jangan dong yg gak keruan… cari yg enakan dikit, biar dapat momentnya… **:)

  4. @ Gum: Wah.. ini aku beli pas jaman sma mas.. masih ada gak ya..?
    @ didien: Thx pal.. Rada gemana gitu dikoneksikan sama SGA.. ;)
    @ zee: makanya.. bikinin aku teh pake susu yang enak tho mbak..

  5. I’ll grab that CD!!! I love rainy days. Rainy afternoon is rare, but lovely! :) Blog-nya bagus layoutnya! :) Ayo, posting ikutan yang kompetiblog juga, belum tutup, baru tutup 30 april, kok :)

    –> Hee.. Thanks mbak hanny.. :) Iya mau ikutan, tapi rada bingung memulainya, gak kayak tulisan situ yg nice banget..

  6. ingat sore ingat “SORE” band idolamu..

    pernah suatu ketika ada orng menasehatiku, cobalah kau perhatikan sore. Datangnya cuma sebentar, seperti hidup ini sangat sebentar..katanya malah begitu perumpamaan di Al Quran..lupa ayat yang mana..(ntar tak cari kalau nga salah dengar tapinya)

    ini tulisanmu banget tiw..aku suka aku suka.

    –> Wah.. cari ayatnya dong mas, pasti bisa bikin bulu kuduk meremang..
    Thanks for the compliment mas.. :)

  7. hmm postingan ini thn 2009 dan masih pake walkman? as in sony’s cassette walkman? hmm pasti sore yg retro…

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Pulau Padar Titiw

Titiw

Ngeblog sejak 2005

Female, Double (hamdallah sudah laku), berkacamata minus satu setengah yang dipake kalo mau lihat nomor angkutan umum doang. Virgo abal-abal yang sudah menjadi blogger sejak tahun 2005 yang pengalaman menulisnya diasah lewat situs pertemanan friendster.

Scroll to Top