Isi tulisan Spoiler semua. Yang gak mau kena, silakan baca tulisan yang lain yaa.
Hellawwwwww! Gemana, siapa nih yang udah kena hype Gadis Kretek the series? Sebagai yang sudah baca novelnya dan juga sudah tonton filmnya sampai tamat, aku mau share pengalaman aku baca novel dan serinya nih. FYI ini subjektif yaa, gak maksa orang berpikiran sama denganku. Dan tentu saja ini SPOILER SEMUA ISINYA. Jadi kalo gak mau kena jangan baca postingan ini. Mari kita mulai!
Adegan awal dalam film dibuka dengan Raja menggumamkan nama “Jeng Yah” dalam tidurnya. Lebas yang sedang berjaga, diminta untuk mencari Jeng Yah. Agak mirip di novel, namun di novel, Lebas yang menawarkan diri untuk mencari siapa itu Jeng Yah. Purwanti yang mendengar suaminya bergumam “Jeng Yah”, marah bukan kepalang. Dia sampai bilang ke anakanya bahwa jangan sampe mereka semua sebut-sebut nama itu lagi di hadapan dia.
Di Novel, ada situasi di mana jidat pak Raja terlihat bekas luka, yang mana itu menjadi urban legend dalam keluarga mereka, bahwa bapaknya pernah dilempar semprong petromaks saat mau menikah oleh seorang perempuan gila yang cemburu dengan perkawinannya dengan Purwanti. Itulah Jeng Yah.
Masih di Novel, Tegar (si sulung), dan Karim (si tengah), ikut dalam pencarian Jeng Yah, sedangkan di film, Lebas si bungsu bersolo karir dibantu dengan Arum. Di Novel Arum tidak ada sama sekali hingga ada sedikiiit sekali porsinya pada akhir cerita. Namun menuruku dengan adanya Arum di film itu cukup bagus kok, menambah bumbu-bumbu dalam sebuah cerita.
Tapiii, komunikasi antarsaudara tersebut tidak dihighlight jelas dalam film. Kenapa Tegar tampak selalu emosi kepada Lebas? Kenapa Karim juga ngang ngong aja ketika mereka berdua berantem? Itu semua karena background Lebas sebagai sutradara kelas 2 yang kerjaannya bikin film horor itu, tidak mau kerja di perusahaan rokok Djagad Raja. Maunya bikin film, dan ganti-ganti jurusan kuliah plus dengernya musik reggae seharian.
Padahaal, kalau filmnya bahas hubungan mereka, akan sangat bitter sweet lah bromancenya. Tegar dan Lebas yang seperti kucing anjing, dan Karim si penengah yang bisa tegas demi kelancaran perjalanan mereka. Kebayang kalo perjalanan road trip mereka diceritakan, pasti seru.
Mari kita membahas hubungan Djagad-Roemaisa-Idroes. Dalam film, terlihat kalau Pak Djagad itu suka, atau seperti punya masa lalu dengan Roemaisa alias ibu dari Jeng Yah. Namun ya hanya subtle saja ditunjukannya, kurang jelas. Naaah di novel, INI MEMEGANG PERANAN PENTING SEKALIIIII. Inilah awal dari segalanya. Di novel, diceritakan bahwa Idroes dan Djagad pernah bekerja di pabrik kretek yang sama. Mereka tahu sama tahu jika mereka suka dengan perempuan yang sama, yaitu Roemaisa, anak dari sang juru tulis.
Djagad lebih satset, sejarahnya dia meminang Roemaisa terlebih dahulu. Sayangnya ditolak karena ia tidak bisa baca tulis. Idroes yang tidak tahu Djagad sudah melamar, pernah papasan dengan Roem, dan Roem bilang “Sana belajar baca tulis”. Dari situ, Idroes merasa bahwa ada kaitannya bisa belajar baca tulis dengan relationship mereka. Akhirnya Idroes belajar dan ia datang melamar Roem. DITERIMA DONG. Dari situ, Djagad merasa Idroes adalah rivalnya dan tidak pernah mau kalah.
Di novel, saat Roem baru menikah dengan Idroes, tiba-tiba Jepang menyerang daerah mereka. Idroes yang mau mencetak etiket untuk kretek produksinya sendiri, diculik ke Surabaya dan dinyatakan hilang. Roemaisa yang sedang mengandung anak dari Idroes, menjadi depresi. la keguguran karena tidak semangat makan, hidup, serta tidak tahu di mana Idroes berada. Saat itulah Djagad mendekati Roem lagi, bilang kalo dia sudah bisa baca tulis, dan mengatakan pada Roem agar lebih baik menikahinya karena ia sudah janda.
Roemaisa ngamuk dibilang janda, ia mendorong Djagad sambil memakinya hingga dilihat banyak orang. Roem yang awalnya adalah gadis manis yang penurut, setelah keguguran menjadi perempuan yang berdaya. Kretek rumahan yang didirikan oleh Idroes (Djajabaya) ia teruskan. Ia rapikan. Ia pasarkan. Ia percaya Idroes masih hidup. Setelah dua tahun, Idroes pulang ke kota M setelah dilepas oleh tentara Jepang.
Indonesia dinyatakan merdeka. Idroes yang terharu Roem mash menunggunya, jadi semangat lagi. Dia perbesar lagi kreteknya sehingga namanya menjadi KRETEK MERDEKA yang laku di pasaran karena orang-orang sedang hangat-hangatnya membahas kemerdekaan negeri ini. Djagad yang panas, membuat brand rokok juga, yaitu Kretek Proklamasi. Ini semua tidak ada di film. Sepertinya oke juga kalau ada prekuel filmnya yang menceritakan hal ini.
Katanya, di film itu mau menunjukkan bagaimana perempuan itu berdaya, meskipun mereka dicap sebagai masyarakat kelas dua. Misalnya saja Dasiyah dianggap tidak ngerti tembakau, tidak boleh masuk ruang saus, disepelekan oleh pedagang tembakau, dan lain sebagainya. Aku paham, ini semua biar filmnya terlihat dramatis dan emosi penonton lebih diaduk-aduk. Kalo gak gitu, nanti semacam flat kan filmnya, jadi gak seruuu.
Sedangkaan, di novel, yang namanya perempuan itu DIAGUNGKAN. Terlihat dari bapak Roemaisa yang membebaskan ia memilih siapa suaminya. Dan terlihat juga dari Idroes yang sungguh sayang dengan dua anaknya yang semuanya perempuan. Dasiyah & Rukayah boleh bantu-bantu pabrik dari kecil, Dasiyah membantu ayahnya memasarkan kretek-kretek buatan ayahnya, bahkan Dasiyah boleh bereksperimen dengan kretek, sehingga terciptalah KRETEK GADIS. Ya, di novel, Kretek Gadis sudah ada sebelum Raja hadir di keluarga mereka. Sedangkan di film, Kretek Gadis tercipta oleh Dasiyah, dengan bantuan Raja.
Nah sekarang kita menuju Soeraja alias Raja (baca: RAYA). Apa yang membuat Pak Idroes membawa Raja ke rumah? Karena kasihan kepadanya yang sempat dipukuli akibat perkelahian di pasar. Sempat juga Idroes bilang ia membawa Raja ke rumah karena Dasiyah yang minta. Itu di film ya. Di Novel, Raja bertemu dengan Dasiyah yang sedang berjualan Kretek Gadis di pasar malam. Di sana, Raja dengan iklas bantu-bantu Dasiyah yang berjualan. Di situlah bersemi cinta mereka. Sehinggaaa, Dasiyah mengajak Raja ke rumah untuk lanjut bantu-bantu lagi. Ia mengatakan hal ini pada ayahnya dan ayahnya mengijinkan, asal Raja tidur di masjid dekat rumah, bukan di rumah mereka.
Nah ini menurutku KUNCI DARI SEGALANYA. IT SETS A DIFFERENT TONE AND MOOD! Bayangkan, Dasiyah yang bawa Raja, itu berarti Dasiyah orangnya open, ramah pada orang lain, dan tidak judes. Tapi kalau pak Idroes yang bawa ke rumah, tidak ada kedekatan antara Raja dan Dasiyah sebelumnya. Raja betul-betul orang asing. Yessss, Dasiyah di novel adalah perempuan berdikari yang ceria, mudah akrab dengan orang lain, dan sangat dekat dengan Ayahnya. Dasiyah di film, terlalu depresif. Seakan-akan dunia tidak pernah adil padanya.
Sekarang ayo kita ngobrol tentang Mas Seno. Di novel, tidak ada satupun orang yang bernama Seno. Tapi tokoh ini diambil dari tokoh di novel bernama Sentot, anak dari pemilik Kretek Bukit Kelapa. Di film, dia sempat bertunangan dengan Dasiyah, bahkan akhirnya menikah dengan Dasiyah. Meskipun yaa berakhir tragis juga.
Sedangkan di novel, mas Seno (Sentot), memang suka sama Dasiyah. Tapi boro-boro tunangan, wong udah ditolak dari awal karena Jeng Yah sudah melabuhkan hati pada Raja. Di novel, setelah segala drama, Dasiyah menikah di usia 32 tahun dengan orang bernama Sugeng. Tak dijelaskan siapa itu Sugeng. Idroes pertamanya ragu dengan Raja, tapi karena Dasiyah ngotot mau sama Raja, ia pun iklas anaknya berhubungan dengan Raja. Sentot ini berperan besar dengan keluarnya Dasiyah dari tahanan. Tapi itu nanti aku bahas di bawah.
Di novel, setelah Idroes Muria merestui hubungan anaknya dengan Raja, ia meminta Raja jadi mandor. Raja si pekerja keras beberapa kali menegur pegawai. Eh pegawainya bilang semacem:
“Mas Raja itu kan bukan siapa2. Dia di sini karena belas kasihan Pak Idroes dan Jeng Yah”.
Raja tersentil, sehingga dia mau keluar dari rumah Idroes untuk berdiri di kaki sendiri. Dasiyah dan Idroes kecewa, karena harusnya mereka meresmikan hubungan saja. Tapi ego pria dalam diri Raja tercolek. Ia mau dianggap, tanpa ada campur tangan uang pak Idroes. Dari situ, Raja mencari-cari peluang dan akhirnya punya network. Network dengan siapa? Para aktivis partai. Raja yang memang kreatif, membuat Kretek khusus untuk mereka, dengan nama Kretek Arit Merah. Cukup sukses, hingga Dasiyah dan Idroes pun bahagia. Tapi ketika tidak lama lagi mereka menikah, orang-orang yang berhubungan dengan partai komunis ditangkap. Di film, tak terlalu detail cerita bagaimana Raja menjalin hubungan dengan Partai.
Dalam film dan novel, ceritanya sama. Dasiyah ditangkap bersama bapaknya. Namun tidak ada adegan baku tembak di novel. Yang ada, Raja nyemplung ke kali supaya gak ketahuan. Raja tahu mereka dipenjara, namun takut kalau mereka akan kenapa-kenapa kalau ia menampakkan diri. Dari pelariannya, Raja sampai ke sebuah gudang. Ketika ia sudah lelah, ia ditemukan seorang perempuan yang berteriak “Ayaaah! Ada orang di sini! Kamu siapaaa?!” Gadis itu adalah Purwanti. Anak dari Djagad. Dan ia ditemukan di gudang tembakau milik Djagad.
Di novel, Purwanti tidak kenal dengan Raja sebelumnya, bahkan tidak bersahabat dengan Rukayah. Sedangkan di film, dari awal matanya udah menargetkan Raja untuk jadi cem-cemannya. LOL. Karena kasihan dengan Raja, Djagad mempekerjakannya di pabriknya. Yesss, DJAGAD DI NOVEL TIDAK SEJAHAT DI FILM. Bukan dia yang melaporkan keluarga Idroes untuk ditangkap. Meskipun menurutku perbuatan paling keji Djagad adalah mencuri ari-ari Roemaisa.
Jika di film diceritakan Idroes dan Dasiyah ditahan selama 2 tahun, di novel gak lama. Bahkan H-1 dimana Jeng Yah & Raja harusnya menikah, mereka dibebaskan. Mereka? Yak, Pak Idroes di novel tidak sekonyong konyong mati. Dia masih hidup sampai keluar tahanan. Hanya saja sudah tidak boleh bikin Kretek Merdeka karena dianggap masih berhubungan dengan partai terlarang. Yang membuat mereka cepat keluar tahanan adalah Sentot (Seno), yang ternyata punya sedikit kuasa di TNI. Sentot merasa harus balas budi pada Dasiyah karena Dasiyah pernah memberikan Ting We (Linting Dewe) buatannya yang menurut Sentot, paling enak sedunia. Masalah Tingwe ini sendiri juga kalo di buku betul-betul dihighlight, sehingga pembaca sungguh paham betul mengenai kretek.
Jeng Yah di novel ingin mencari calon suaminya, tapi ia takut itu membahayakan banyak pihak, sehingga ia harus mawas diri dan tidak tergesa-gesa. Setelah setahun kejadian G3oS, Raja mengirim surat. Dari situ Jeng Yah tahu kalau Raja di Kudus karena diselamatkan oleh Djagad. Jeng Yah lega, setidaknya ia tahu kalau Raja selamat. Dari surat-suratnya, Jeng Yah tahu pula kalau Raja sudah mulai berbisnis kretek dengan Pak Djagad.
Surprisingly, di novelnya, Dasiyah bangga hati karena ia merasa akhirnya Raja bisa sukses. Dan di salah satu surat, Raja bilang kalo hubungan mereka harus sampai situ saja. Sudah ada Purwanti yang mengisi hatinya. Jeng Yah dengan iklas dan senyum, mengatakan pada Rukayah agar semoga Raja bahagia.
Setelah adegan tersebut, Jeng Yah lalu mengisap selinting kretek Djagad Raja yang dibelikan oleh Rukayah. Rukayah membelinya karena ingin menunjukkan pada mbakyunya, merk yang sekarang dimiliki oleh Raja yang berpartner dengan Djagad. Ketika ia mengisap kretek tersebut, Dasiyah tiba-tiba berang. la buang kretek itu dan bilang ingin mendamprat Raja di Kudus. Keluarga mencegahnya, namun Dasiyah nekat.
Di film, diceritakan bahwa Dasiyah datang ke pernikahan Raja & Purwanti. la geram, dan memukul kening Raja dengan vas bunga. Namun di novel, harusnya Raja dipukul dengan sebuah sentrong petromaks. Balik ke masa kini di novel, Lebas, Tegar, dan Karim yang mencari Jeng Yah, akhirnya mendapatkan harapan. Mereka bertemu dengan pabrik rumahan Kretek Gadis di Kudus. Oh ya, beda sama di film, di novel tidak ada surat-surat yang ditulis oleh jeng Yah maupun Raja.
Setelah sampai, mereka langsung bertemu dengan Arum Cengkeh. Arum memperkenalkan ibunya (Rukayah). Tapi, dari awal dia sudah tau kalau Rukayah itu buliknya. la panggil ibu ke Rukayah karena ibu kandungnya (Dasiyah), langsung meninggal saat melahirkan dia. Jadi tidak ada drama kaget karena dia kira selama ini ibu aslinya Rukayah, seperti yang kita tahu dari film. Jadi, di novelnya tidak ada itu pak Eko. Tidak ada itu kretek Kembang Setaman yang dibuat dari saus rahasia buatan Dasiyah. Dan juga tidak ada adegan ke Museum Kretek dan bu Sri.
Setelah bertemu Rukayah dan Arum, mereka kaget karena Rukayah bercerita bahwa Dasiyah ternyata sudah meninggal, sehingga mereka pulang dengan sia-sia. Di perjalanan pulang, ayah mereka Raja, anfal. Sesampainya di rumah, Raja meninggal. Berbeda dengan di film, Raja di novel tidak pernah bisa meminta maaf pada Rukayah atau dengan Arum anaknya Jeng Yah. Sedangkan Raja di film, mendapatkan closure dengan mendatangi kuburan dari Dasiyah.
Jika di film, Lebas mendapatkan AHA moment ketika merokok Kretek Kembang Setaman, di novel, ia mendapatkan pencerahan ketika merokok Kretek Gadis yang ia bawa dari Kudus sebagai oleh-oleh. Kretek Gadis masih diproduksi secara rumahan, dan yang beli hanya orang tua di sekitar. Lebas kaget kenapa rasanya sama dengan Djagad Raja. la pun memaksa kedua masnya untuk mencoba. Mereka berdua pikir itu adalah kretek DR. BUKAN. Itu adalah Kretek Gadis. Mereka kaget. Berarti.. Selama ini ayahnya memiliki banyak uang karena mengimitasi rokok buatan orang lain?!
INI YANG PALING PENTING DIKETAHUI PARA PENONTON FILMNYA: JENG YAH KE KUDUS DAN MEMUKUL KEPALA RAJA BUKAN KARENA CEMBURU, TAPI KARENA IA MERASA DIKHIANATI DALAM PEMBUATAN KRETEK! Itu pula yang bikin Raja di ujung ajalnya ingin bertemu Jeng Yah. Kalau di film closurenya hanya minta maaf, di novel menurutku lebih adil. Lebas kembali ke Kudus dan kembali mendatangi Rukayah dan Arum. Oh ya, Rukayah di novel tidak sakit demensia. Hanya tua aja, tapi gak sakit. Saat ketemu, Lebas memberikan penawaran seharga 1 Milyar untuk pembelian formula saus kretek dari Kretek Gadis. Rukayah dan Arum yang merasa selama ini produksi mereka juga sedikit, mengangguk setuju atas tawaran tersebut.
Akhirnya semua pihak bahagia, tapi ya di novel gak ada romansa antara Arum dan Lebas. Bahkan di novelnya, Arum tidak diceritakan kerja apa. Bukan dokter seperti yang dituturkan dalam film. Lebih happily ever after juga di novel karena akhirnya Tegar memberikan modal pada Lebas untuk menyutradarai iklan rokok Djagad Raja yang baru. Dari yang sebelumnya antipati betul dengan adiknya, sekarang Tegar bisa menjadi kakak yang lebih tegar untuk memberi kesempatan pada adiknya.
SEKIAAAAAAN REVIEW AKUUUU ANTARA NOVEL DAN FILEEEEM.
“Kalo film adaptasi kan pasti emang beda sama novelnya.”
Ya emang bedaaaa, makanya aku bandingkan. Bukan menjelekkan filmnya, tapi aku hanya menjabarkan apa perbedaan novel dan film. Aku juga paham bahwa film itu pasti ada keterbatasan budget, waktu, dan sebagainya. Cuma, yang bikin aku memang lebih cenderung suka novelnya, adalah faktor ini:
- Jeng Yah di novel tidak pernahhh meminta Raja untuk balikan sama dia. Sedangkan di film, setelah adegan dia pukul Raja pake vas bunga, sempet-sempetnya nanya mau gak pergi sama dia dan meninggalkan semua yang telah Raja dapatkan. JENGGGG ITU DIA UDAH MAU NIKAH ALLAHUAKBAAR!
- Adegan di stasiun yang Dasiyah cumi-cumi sama Raja, itu gak adaaaa di novell. Sedangkan dengan adanya adegan itu di film, mengukuhkan bahwa Dasiyah udah bau-bau pelakooorr. NOOOO DASIYAH KAMU KEREEEN KENAPA MAU BALIKAN LAGII SAMA RAJAAA?! *nangis ampe Lebaran monyet*
Cerita beda novel dan film Gadis Kretek udah. Sekarang review tentang pemain dan aktornya boleh doongg:
- Mbak Dian Sastro aktingnya kurang gigit. Dialek jawanya gak pas banget. Jadi seperti melihat Cinta pake kebaya. Masih terlalu Jaksel dan gak mau kelihatan jelek. Yang sempurna ada satu dari mbak DS: Cara dia merokok. Tapi aku suka banget sih mukanya gak ada bosen-bosennya dipandang.
- Ario Bayu aktingnya lumayan, tapi dialeknya juga gak dapet. Chemistrynya sama DS: enol. Lebih ok malah chemistrynya Ibnu Jamil sama DS, atau Arum sama Lebas. Puk-puk mas Seno yang gak dapet cumi-cumi dari DS. :’)
- Akting terbaik tentulah jatuh kepada Rukman Rosadi. Semua gerak geriknya, cara merokok, dialek, SEMPURNA JADI IDROES MURIA. Akting terbaik ke-2 jatuh pada Putri Marino. Ibnu Jamil & Ine Febriyanti juga ok, cuma kurang banyak scenenya, jd gak terlalu total rasanya.
- Aku agak gemes sama pemilihan cast, karena Pritt Timothy (Raja tua) terlihat jauh lebih pendek dari Arya Saloka (Lebas). Padahal tinggi Arya 18cm, dan tinggi Ario Bayu (Raja Muda) adalah 183cm. Ngerti sih kalo jadi tua itu orang pasti berkurang tingginya. Tapi ini jauhhh banget.
- Tissa Biani tidak mengecewakan aktingnya, namun kurang cocok jadi adik Dasiyah, kayak jauhhhh banget usianya. Padahal di buku, mereka hanya berjarak beberapa tahun saja.
- Lagi-lagi pemilihan cast. Dalam novel, harusnya cerita berlangsung ketika Dasiyah berumur belasan tahun (di novel usia 17), hingga 20-an tahun. la meninggal di usia 30-an awal. Mon maap mbak DS, kamu mash cantik paripurna di usia 4oth ini. Tapi memang harusnya castnya lebih muda sih biar lebih passs gitu. Atau ya Putri Marino lebih cuco. Tapi ngerti sih, DS itu Indonesia’s sweetheart. Jual namanya dia pasti lakuuu.
- Film ini jelas digarap dengan serius. Dari kualitas gambar, busana, scoring, dil. Bravo untuk semua pihak yang terlibat!
Untuk yang berpendapat “Emang susah lah buku dijadiin film, pasti ada aja yang gak puas.”, aku tuh selooow. Gak pernah snob-snob “Bagusan bukunya dibanding filmnya“. Apalagi karena Ratih Kumala sebagai si penulis novel menjadi penulis filmnya juga. Istilahnya, dia yang punya cerita, kenapa kita yang repot? Tapi sekadar share aja, karena kita care. Terakhir, jangan lupa kata-kata almarhum Remy Sylado: “KITA MASUK KE BIOSKOP BUKAN UNTUK MENONTON NOVEL, TETAPI UNTUK MENONTON FILM”.
Gemana menurut kamu reviewku ini? Silakan komen untuk yang setuju, gak setuju, atau sekadar mau bertandang saja. Thank youuu sudah menyimak!