Terkadang, hal kecil menurut kita, bisa cukup besar artinya bagi orang lain.
“Flight jam 16.15 WITA, bawaan udah banyak. Perlu nggak ya gw bawa tissue sebungkus gede gini masuk ke backpack kecil gw yang udah kepenuhan? Hmm.. Bawa deh. Siapa tau diperluin. Secara gw anak ingusan.”
Siang itu, Bandara Ngurah Rai terlihat ramai seperti biasa, namun tidak terlalu penuh yang membuat sumpek. Beberapa kali saya menengok ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, melihat si Bandara yang sudah berganti wajah. Ya, Bandara Ngurah Rai baru saja mempercantik diri beberapa waktu ini.
Namun sayang, kesalahan seperti yang dilakukan oleh Bandara Sultan Hasanuddin Makassar terulang di sini. Soundnya menggaung dan betul-betul tidak jelas. Ternyata tidak selalu bentuk arsitektur yang spektakuler mendukung aspek-aspek penting seperti ini.
Mau pengumuman dari speaker terdengar jelas? Berjalanlah ke dalam toiletnya. Suara lebih jelas dari sana. Jadi tidak perlu panik kalau panggilan alam memanggil, karena panggilan speaker tidak akan mengkhianatimu.
Sampai pukul 16:00 WITA, penumpang belum juga dipanggil untuk boarding. Padahal waktu boarding yang tercantum di boarding pass adalah pukul 15:55 WIB. Karena takut tertinggal (tepatnya ditinggal) pesawat lagi seperti kisah di tahun 2010 saat mau ke Semarang, maka saya melangkahkan kaki dengan malas-malasan menuju pintu batas antara tempat menunggu dan tempat masuk ke arah lorong keberangkatan.
Menurut petugas jaga, pesawat sudah siap, hanya akan sedikit telat tampaknya karena masalah teknis. Dan betul, setelah itu pengumuman yang keluar dari speaker nan bergaung itu adalah: Pesawat delay selama 15 menit. Tatapan saya tertumbuk kepada seorang pria berkacamata dan bertopi fedora yang mukanya terlihat sangat resah, kusut, dan seakan tidak terima dengan keputusan delay yang -hanya- 15 menit itu.
Pengumuman boarding tiba, dan di atas pesawat saya -yang selalu request untuk duduk di sebelah jendela- ternyata bersebelahan dengan pria yang bersetelan layaknya cowok EO kebanyakan tersebut. Baru saja mendaratkan pantat ini ke bangku, HP cowok itu bunyi dan dia langsung menangis seraya berbisik lirih “Iya bang.. Abah meninggal tadi siang.. serangan jantung.” DEG.
Sy jadi kaget dan nggak tahu mau ngapain. It’s not like in the movie where people can easily say “I’m sorry to hear that” and hug him. Tapi hati kecil berkata bahwa saya harus berbuat sesuatu ketika denger dia terisak-isak. Lima menit berlalu tanpa saya melakukan apa-apa. Segala kemungkinan apa yang harus saya lakukan berkecamuk.
Saya teringat si tissue yang tadi hampir tidak saya bawa. Sejurus kemudian, saya sodorkan tissue itu padanya. Dia menerimanya. Sembari ia mengambil tisu, saya berucap “turut berduka ya mas”. Raut harunya senyum sambil bilang “Makasih.. Padahal kemarin masih baik-baik aja mbak.“
I mean.. it’s one helluva awkward situation i’ve been dealing. But i should do something. Akhirnya kita ngobrol-ngobrol dan tangisnya pun mereda. Saya biarkan ia meletakkan sebungkus tissue itu di mejanya. And he really needs it. Abis banyak tissue itu dia pake sambil sesekali senyum dan dzikir. Mas itu nambahin:
“Bapaknya masih ada mbak? Sudah dihubungi? Disayang, jangan sampai terlambat kayak saya. Saya nyari foto abah saya di HP gak ada satupun.”
“Saya bener-bener nyesel mbak. Jumat Abah minta saya anter ke Bandung, tapi saya ada event di Bali ini. Jadi Abah nyetir sendiri. Saya nyesel banget.“
“Saya udah bilang ke Abah kalo habis Subuh jangan tidur lagi karena kurang bagus untuk kesehatan. Saya pernah SMS dia begitu. Ini SMS terakhir ke Abah Mei lalu. Masih saya simpen.”, seraya menunjukkan isi SMS terakhirnya itu pada saya.
“Mbak tau, Rasul juga bilang kalo setelah subuh sampe sekitar jam 12 siang itu jangan tidur lagi, bikin nggak sehat.“, tambahnya.
It’s funny yet sad when you can suddenly turn to be a wise man when you lose your loved ones.. Ia tampak senang saya ajak ngobrol. Ketika pramugari menyediakan makanan, ia hanya meminta air putih dan membiarkan saya makan dahulu. Dan ia lanjut ngaji dari aplikasi Quran di gadgetnya.
Bacaannya yg lirih bikin hati sy nyess.. Ketika akhirnya landing, dia nyalamin saya sambil serius bilang “Makasih banyak mbak, ini tisunya. Semoga kapan-kapan bisa saya ganti ya.” Dan ia pun turun dengan tergesa-gesa. Al Fatihah untuk bapaknya ya mas..
Itulah sedikit kisah saya tentang sebungkus besar tisu yg lebih besar lagi manfaatnya buat orang lain. Little Things Matter. Semoga kita semua diberi waktu lebih banyak untuk dihabiskan dengan orang-orang yang kita sayang. Semoga. Tabik.
~ Soekarno Hatta, 13 Oktober 2014 ~
11 thoughts on “Because Little Things Matter”
Mbrebes mili T_T
*puk2 kak andin* sini2 aku sewain bahu aku kak..
I love papa mama kandung dan mertua!
Love them and love you as well, dear.. :*
Little things matter a lot. A really nyess story.. :’)
Makasih udah sempetin baca kakaak.. :’)
Welcome, kakaaaa!!
pagi-pagi baca ginian bikin mewek. Jadi keingetan alm. Bapak. :'(
Btw…membawa tissue berarti ajakan hati kecil kan?! Sering ngerasa ga sih klo hati kecil tuh suka nyuruh sesuatu. Dan ini seringkali terabaikan. Dan yang sering bikin nyesel krn mengabaikan hati kecil itu.
Ini hasil pengalaman yg direnungi belakangan ini sih. :)
Iyaa.. Kadang2 inget apa trus karena sibuk jadi dicuekin.. eh taunya kata hati kita itu bener. Hehe.. Al Fatihan untuk almarhum ya Bieb.. :’)
Semoga si mas itu bisa dikuatkan. Aduh sedih bacanya. T___T
Iyaaa.. bayangin lg ngetrip ke bali dan tiba2 dpt telpon duka.. :'(