Buku yang Mengubah Kebiasaan Buruk Saya: Goodbye Things karya Fumio Sasaki

Book Review Fumio Sasaki

Mengapa seseorang merasa gembira ketika sedang ngetrip? Kenapa kamu lebih hepi ketika pergi jalan-jalan dan lebih sedih saat pulang dari perjalanan tersebut? Ada yang tahu jawabannya?

Jawabannya ada di ujung langit di ujung tulisan ini, yang semuanya terjawab dalam sebuah buku non-fiksi yang saya baca di akhir tahun 2018: Goodbye Things (The New Japanese Minimalism), karya Fumio Sasaki. Saking powerfulnya buku ini, saya berani menulis judul postingan ini bahwa buku tersebut mengubah kebiasaan buruk saya, yaitu membeli barang yang tidak berkualitas, dan memiliki terlalu banyak barang yang gak semuanya saya sayang.

Mari kita review buku best seller dari penulis yang berasal dari Jepang ini. Tapi sebelumnya saya coba share sedikit mengenai isi bukunya supaya ada gambaran lebih jelas. Sinopsis buku diambil dari Goodreads.

Goodbye, Things Fumio Sasaki

Intinya, buku ini mengisahkan cerita Fumio Sasaki sendiri yang mulai mengurangi barang-barang di rumahnya. Mengurangi bajunya, bukunya, peralatan dapurnya, dan semua yang menurutnya tidak perlu, yang mana hal-hal itu membuatnya lebih bahagia dan content. Sedikit ekstrim jika dilihat oleh kita yang terbiasa hidup maximalis, atau kebalikan dari minimalis.

Hidup di dalam dunia yang tinggi tingkat konsumerismenya, kita terbiasa hidup di rumah yang penuh barang. Pertamanya, kita hanya merasa ribet ketika majalah menumpuk di pojokan. Lalu gundah ketika baju menumpuk dan tak ada waktu untuk menyetrikanya. Namun perasaan tidak enak itu lama-lama menghilang karena kita TERBIASA.

Sama seperti mendatangi pasar ikan. Pertama kali kita memasuki pasar, bau amis membuat pusing, namun seiring waktu bau tersebut jadi samar dan hilang. Kita jadi terbiasa dengan bau ikan, yang mana dalam kasus ini adalah barang-barang atau benda. Segala benda. Berserakan. Tak tertata.

Coba perhatikan lemari baju kamu. Ada berapa banyak kaos? 20 potong? 30 potong? Itu baru kaos. Belum pakaian dalam. Belum pakaian ngantor. Belum pakaian pesta. Belum pakaian santai. Dan itu semua, judulnya baru pakaian. Bagaimana dengan tempat sepatu? Rak dapur? Don’t get start dengan gudang ataupun koleksi buku dan barang antik kamu.

“Why do we own so many things when we don’t need them? We’re desperate to convey our own worth, our own value to others. We use objects to tell people just how valuable we are.”

DEG

Saya tertohok membaca kalimat yang ada di buku ini. Kita seringkali beli baju dengan merk tertentu (yang belum tentu nyaman), agar dianggap lebih oleh orang lain. Kita koleksi piringan hitam, lensa kamera, buku, agar dianggap keren oleh citizen ataupun netizen.

Dalam hati, saya merasa “Ah enggak tuh, saya koleksi buku emang karena suka baca buku.” Tapi kata hati saya yang lebihhh dalam lagi sedikit ngenyek pikiran si hati yang berada di permukaan, “Yakiiin? Yakin gak beli buku-buku banyak karena cuma penggemar buku? Lalu kenapa dari ratusan atau bahkan ribuan buku itu masih banyak yang belum kamu baca?”

DEG LAGI.

Ya, saya akui saya mengoleksi buku karena memang suka buku namun ada sedikiiiit rasa ingin “dianggap” oleh orang lain. Ini berlaku untuk kamu yang mungkin mengoleksi barang lain seperti jam tangan, CD, kaset, apapun. We use object to tell people just how valuable we are.

Padahal, belum tentu lho orang se-ngeh itu dengan apa yang kita pake atau tampilkan. “No one’s as concerned about you as you may think. Everyone’s busy and wrapped up with their own lives.” Coba saya tanya, apakah kamu inget apa baju yang dipake CEO, atau bos kamu bulan lalu? Nggak? Ok, gimana kalo minggu lalu? Nggak juga? Ok, gimana kalau kemarin? Nggak juga kaaan?

Belum lagi, 1 barang bisa beranak pinak karena mereka jadi lebih butuh diurus. Beli sepeda baru, butuh beli gemboknya, belnya, spionnya, harus luangin waktu untuk nyucinya *melirik tajam ke suami*. Bukannya kita yang memiliki barang, malah dia yang “memiliki” kita. Makanya kita butuh mengurangi hal-hal yang gak butuh, gak perlu, gak “spark joy“, gak berkualitas. Jangan denial.

Gimana kalo barang yang sudah disingkirkan itu ternyata dibutuhkan lagi? Di dunia digital seperti ini, kita akan mudah mendapatkannya lagi. Buku? Bisa beli atau minjem. Garansi? Berapa sering sih kita pake kartu garansi? Foto? Bisa discan atau ditaro di cloud sebelum dibuang. Intinya, jangan ragu say goodbye ke barang-barang yang lama-lama malah bikin kita terkekang.

Fumio juga meminta pembaca memikirkan, bagaimana jika benda bisa bicara. Yang satu minta diperhatikan, yang satu minta dibersihkan, yang satu minta dimainkan, dll. Yang ada kita capek, dan badan jadi males untuk ngapa-ngapain karena kebayang ribetnya ngurus mereka semua. Bayangin kalo kita cuma punya beberapa barang. Kita bisa meluangkan waktu yang berkualitas untuk mereka, karena jumlah mereka tidak terlalu banyak.

Berangkat dari itu semua, Fumio Sasaki mulai mengurangi barang-barang yang ia punya. Disumbangkan, diberikan orang lain, ataupun dijual. Ia pun pindah ke apartemen yang lebih kecil dan merasa lebih bahagia dengan itu semua.

Lalu bagaimana dengan pertanyaan saya di awal tulisan ini? Kenapa orang senang betul ketika bepergian? Karena dia jadi lebih bebas dari banyak barang. Koper terlipat rapih, tidak banyak tentengan tidak perlu. Tapi kenapa orang lesu kalo udah balik dari jalan-jalan? Karena koper jadi lebih sesak, bawaan banyak, dan perasaan malas balik ke rumah yang terlalu banyak barang. I didn’t see it coming.

Belum selesai baca buku ini, hasrat bebenah saya udah timbul. Langsung bersihin lemari dari baju-baju yang sudah belel, gak kepake, ataupun yang tidak muat lagi. Dan hamdalah Mahe juga mau ikutan, meski gak sebanyak aku. :’)

Intinya, buku ini recommended. Bukan karena pilihan katanya yang keren, karena cerita yang mindblowing, ataupun mimpi yang dijual. Bukan. Saya merasa buku ini patut dibaca karena mengubah saya (dan semoga juga pembaca lainnya) ke arah yang lebih baik.

Apa yang paling saya suka dari buku ini?

  • Beberapa gambar orang-orang yang mempraktekkan “minimalism” dan bagaimana mereka mempraktekkannya. Seperti misalnya backpacker yang share barang-barang yang dia bawa ke mana-mana di dalam 1 backpacknya.
  • Kalimat-kalimat yang nohok dan membuat saya mengangguk-anggukkan kepala dan pengen buru-buru bebenah
  • On point, to the point, dan di akhir buku ada 55 tips untuk menjadi lebih minimalis
  • Buku ini tidak menghakimi. Semua orang memiliki pace-nya masing-masing. Karena minimalist bukan berarti hanya memiliki sedikit barang, namun tahu apa yang kamu punya, yang kamu perlu, dan itu cukup.
  • Bagaimana Sasaki menceritakan banyak efek domino yang positif dari berusaha menjadi seorang minimalist. Yang ini mau aku bahas di postingan sendiri karena banyak bangettt efeknya ke hidupku.
  • Bikin saya langsung mempraktekkan tips-tips di buku ini, yang bikin hati lebih plong.

Apa yang kurang saya suka dari buku ini?

  • Author ini jelas pemuja berat Steve Jobs. Apa-apa benchmarknya Apple. Semuanya ngomongiin Iphone atau Mac. :’)
  • Ada beberapa hal yang diulang-ulang, yang seharusnya tidak perlu. Tapi ini jadi bikin nempel di otak sih.
  • Buku ini terlalu pribadi, lebih ke alasan dia nyingkirin barang. Kurang sesuai dengan judulnya yang bawa-bawa nama Jepang.

Cocok dibaca oleh?

  • Kamu yang dikit-dikit belanja
  • Kamu yang hoarder
  • Kamu yang sering mikir “Tapi takutnya nanti ini kepake..” atau “Ini pasti kapan-kapan muat..” atau “Tapi barang ini kan mahal..”
  • Kamu yang selalu merasa tidak punya apa-apa “Duh gada baju nih buat ke…”
  • Kamu yang simpply mau lebih bahagia

That’s a wrap from me, buku ini dapet bintang 4,5 dari 5 bintang. Untuk yang mau baca, bukunya ada di toko buku kesayangan kamu, dan juga ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Ada yang mau ditanyakan? Langsung saja share di komen ya untuk yang sudah baca ataupun mau baca. Selamat membaca (dan berbenah)!

16 thoughts on “Buku yang Mengubah Kebiasaan Buruk Saya: Goodbye Things karya Fumio Sasaki”

  1. setuju banget, banyak barang yag sudah tidak perlu dismpan aja, mening dinerikan aja atau disumbangkan siapa tahu aka ada manfaatnya di orang lain

  2. Ndari mulyani

    Saya sendiri termasuk orang yang pelit dalam berbagi barang pribadi, namun ulasan buku ini membuat saya tersentuh. Kadang saya males pulang ke rumah karena pandangan mata terhadap barang2 yg menumpuk membuat mood saya menjadi buruk. Saya harus bisa merelakan sebagian dari barang2 tersebut dikeluarkan dari rumah. Agar hidup lebih nyaman dan lega.

  3. Baru baca sekarang bukunya. Belum tuntas, tapi benar bikin kita mau cepat-cepat ‘bersih-bersih’. Keren!

  4. Hidup gaya minimalis tidak untuk semua orang. I have thousands books and just looking at them or touching them make me happy, so I won’t give them away although now I don’t have time to read them all. I can giveaway my old clothes, bags, shoes, but not my books.

  5. Hehehe…tertohok sekali sy..satu dari sekian PR kami yang belum kelar..selalu jadi wacana ya ga Mama Thirfa

  6. Review yang luar biasa tentang buku yang luar biasa. Tadinya saya pikir tidak mungkinlah saya berpisah dari barang2 kesayangan saya. Ternyata dari sekian barang yg saya kira saya inginkan, sekian persennya bukanlah barang2 yang benar2 saya inginkan. Dari situ saya tersadar, gaya hidup minimalis bukanlah sekadar menyedikitkan barang, melainkan memberi ruang untuk memaksimalkan apa yang benar2 membuat kita bahagia.

  7. Setelah menonton video documenter The Minimalists: less is now dari Joshua Fields Millburn & Ryan Nicodemus
    dan membaca ulasan ini tentang buku GoodBye Things
    saya jadi semakin ingin bergerak untuk melakukan hal2 meminimalism & tentunya membeli buku bacaan GoodBye Things

    thanks for sharing :D

  8. Setuju banget habis membaca buku ini hasrat untuk membuang barang begitu besar mbak dan memang lebih nyaman rasanya yaa..

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Pulau Padar Titiw

Titiw

Ngeblog sejak 2005

Female, Double (hamdallah sudah laku), berkacamata minus satu setengah yang dipake kalo mau lihat nomor angkutan umum doang. Virgo abal-abal yang sudah menjadi blogger sejak tahun 2005 yang pengalaman menulisnya diasah lewat situs pertemanan friendster.

Scroll to Top