Selayang Pandang Suku Bajo Si Manusia Perahu

suku Bajo

“Drrrddt… Drrrdddt.. Drrrrrddttt..”

Heffff.. bunyi apapula itu. Dengan matahari yang sedang senang-senangnya bersorak tepat di atas kepala ditambah kapasitas kapal yang cukup berdesak, sepertinya kelelahan tubuh yang berpeluh ini tidak butuh drama tambahan.

Kapal tandas! Karang! Melaju ke kiri!” Teriak seseorang yang sepertinya didapuk menjadi asisten sang kapten kapal. Mata saya tetiba langsung mencari kawan-kawan seperjalanan dalam kapal. Melirik kanan, saya melihat kak Nunuk sedang mengobrol dengan bule yang sepertinya berasal dari Belanda, negara asal ibunya kak Nunuk. Pantas mereka mudah akrab. Menengok ke kiri, ada Oke yang sedang sibuk foto-foto ke luar dengan kamera pinjamannya dari saya. saya pun jadi ikut-ikutan melihat ke luar, apa sih objek foto Oke?

Ternyata bukan objek foto, namun sepertinya yang lebih pantas kita bahas di sini adalah subjek foto. Ya, dalam perjalanan dengan kapal kayu menuju pulau Hoga, hasil layangan pandang ini menancap kepada sosok-sosok berkulit legam di sekitar perairan. Ada yang tegak berdiri dengan jaring di tangannya dengan mata tajam menatap laut,  ada juga bocah-bocah yang lamat-lamat mengayunkan sampannya entah ke mana ia menuju.

Suku Bajo Titiw

suku bajo

Itulah manusia-manusia perahu alias Suku Bajo. Suku yang bermukim di atas air dan sehari-harinya menggunakan perahu itu banyak bermukim di sekitar kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), Sulawesi Tenggara. Suku ini konon berasal dari Johor, dan ekspansi menuju beberapa daerah di Indonesia, salah satunya ya di Wakatobi ini yang ternyata jumlahnya terbesar di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Jika dalam satu komunitas suku Bajo biasa terdapat 3.000 – 5.000 orang, di Wangi-wangi saja (yang belum keseluruhan Wakatobi) mencapai populasi 20.000-an orang.

Kehidupan masyarakat Bajo juga sempat diangkat dalam film berjudul “The Mirror Never Lies” yang dibintangi oleh Atiqah Hasiholan dan Reza Rahadian. Meskipun tinggal di laut, mereka tidak merasa kurang ataupun iri dengan orang-orang yang menetap di darat. Seiring dengan waktu, beberapa suku Bajo ada yang tinggal di darat juga, meskipun beberapa selentingan mengatakan bahwa hal itu sedikit dipaksa oleh pemerintah.

suku bajo titiw

Mengapa ada “paksaan”? Di satu pihak, Pemerintah Wakatobi sulit membantu mereka dalam pemberdayaan ekonomi karena suku Bajo hanya menggantungkan hidup dari hasil laut. Misalnya saja mengambil karang untuk dijual. Padahal di pihak lain, terumbu karang yang makin habis dapat mengancam kelestarian sumber daya perikanan yang juga jadi sumber hidup utama masyarakat setempat.

Bagaikan lingkaran setan, Pemerintah tidak dapat tegas karena suku Bajo telah menetap sekian lama dan biasanya yang tertangkap tangan adalah penduduk yang sudah berusia senja. Sedangkan suku Bajo seperti “cacat” jika mereka harus pindah ke daratan. Ah, saya jadi miris membayangkannya. Di sini empati saya meluncur kepada kedua belah pihak tersebut tanpa adanya berat yang lebih ke satu sisi.

Jamak ditemukan pemakaian bedak dingin di perairan Wakatobi agar wajah tidak terbakar

Kembali kepada suku Bajo, sampan merupakan modal utama mereka mencari nafkah. Misalnya saja untuk menangkap ikan, mengambil pasir yang bisa dijadikan batako, hingga sebagai alat transportasi. Mau menjadi suku Bajo “sementara”? Datang saja ke desa Sama Bahari yang menjadi tempat shooting film Mirror Never Lies. Dengan harga Rp 30.000 – 35.000, kamu bisa menyewa sampan mereka dan merasakan bagaimana serunya menjadi manusia perahu. Desa Sama Bahari dapat ditempuh dengan kapal yang menuju Kaledupa dari pelabuhan kecil Wanci. Kapal seharga Rp 10.000 (ini harga tahun 2011) dan memakan waktu sekitar 1 jam.

Desa Sama Bahari
Sama Bahari

***

Kapal kayu yang mulai lapuk itu sepertinya sudah mulai berjalan, namun saya masih menoleh ke belakang. Menoleh ke muka-muka yang berbedak dingin di wajahnya, serta menoleh ke anak-anak yang bermain di atas perahu layaknya perahu itu adalah playground yang paling menyenangkan..

22 thoughts on “Selayang Pandang Suku Bajo Si Manusia Perahu”

  1. Pernah ngeliat di film dokumenter asing yh memperlihatkan seorang suku Bajo menyelam (skin dive) untuk nombak ikan. 1. Tahan napasnya sampe bermenit2. 2. Sampai di dasar laut, doski jalan kaki aja ht nyari ikan di antara karang buat ditombak.

    Luar biasa bukan?!

  2. bukanrastaman

    ada yang bilang tempat yang indah biasanya berbarengan dengan persoalan ekonomi mereka yang membuat serba salah dalam mengambil keputusan. tinggal bagaimana keputusan itu nanti akan dijatuhkan, apakah yang untung lebih banyak atau yang rugi lebih banyak..

    yang jelas keren mbak tulisan dan fotonya :)

  3. cumilebay.com

    yang di torosiaje gorontalo keren banget kak, mereka punya komplek perumahan di atas laut gitu

  4. D Sukmana Adi

    perahu..inget waduk cengklik deket bandara adi sumarmo solo..mirip mirip seperti ini, setiap sora banyak orang yang datang kesana..

  5. Rifqy Faiza Rahman

    Kadang ikut prihatin, kala keinginan untuk lebih berdaya berbenturan dengan tradisi. Semoga ada solusi lebih baik, sama-sama menguntungkan. Karena suku Bajo ini sudah masyhur sebagai manusia perahu :)

  6. hmmm,,,, Lalu pendapat kakak bagaimana dengan adanya ” pemaksaan pemerintah terhadap suku bajo agar tinggal di darat” saja??? seharusnya kan biarkan saja tinggal di laut asalkan tetap menjaga kelestarian lingkungan laut, yaw nggak?

    1. Itulah. Bisa jadi juga ada beberapa kepentingan yang pengen semuanya “Rapih” sehingga tidak mengindahkan humanity. Ah, sejujurnya aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu kak.. :’)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Pulau Padar Titiw

Titiw

Ngeblog sejak 2005

Female, Double (hamdallah sudah laku), berkacamata minus satu setengah yang dipake kalo mau lihat nomor angkutan umum doang. Virgo abal-abal yang sudah menjadi blogger sejak tahun 2005 yang pengalaman menulisnya diasah lewat situs pertemanan friendster.

Scroll to Top