Jika ditanya pertanyaan yang sama dengan judul di atas, saya dengan pede dan tebal suara sudah pasti menyatakan “Makassar, lah!” sebagai jawabannya. Walaupun dalam realita, saya ini lahir di Jakarta, KTP Jakarta, sekolah di Jakarta, tinggal di Jakarta, dan semua-muanya di Jakarta. Lah, Makassar KW dong. Iya, tapi gini-gini KW super, kakak.. Boleh cek toko sebelah. Lalu, siapa yang Makassar? Mama – Papa. Kakek – Nenek. Buyut. Tetangga. Semuanya Makassar, yang lebih tepatnya lagi berasal dari suku Bugis. Mendengar kata “Pulang Kampung“, sudah barang tentu ya daerah inilah yang menjadi destinasi utama, meskipun pulang kampung tidak saya lakukan lagi setiap tahun seperti yang dahulu menjadi tradisi keluarga kami sebelum terjadinya krisis moneter. Huhuhu.. Syedih.
Pulang kampung terakhir kali kami lakukan di bulan April 2012, bulan yang kering dan terik, dimana tiba-tiba saja Mama ingin pulang kampung sekaligus menjual rumah. Rumah milik keluarga kami memang ada di Makassar kota, namun kata pulang selalu berasosiasi dengan desa bernama Takalala. Takalala masih berada dalam kota Watansoppeng atau Soppeng, desa dimana Kakek – Nenek saya menetap di sana bersama anak cucunya, yaitu adik-adik dari Mama saya.
Untuk kakek-nenek dari Papa juga kampungnya berasal dari sana, namun insha Allah sudah pada bahagia di Surga. :) Dan dari impulsif trip itu menghasilkan sebuah kehebohan kecil di rumah. Dari cari tiket pesawat, ijin kantor secara tiba-tiba yang bikin HRD mengernyit, nitip Micel di penitipan kucing, sampe meyakinkan mbak Ratna (ART kami yang langganan mabok perjalanan) untuk ikut karena tidak ada siapa-siapa di rumah selain cicak yang nemplok di tembok yang catnya sudah terkelupas.
Jika perjalanan pulang kampung yang dulu-dulu hanya dihabiskan untuk leyeh-leyeh di rumah nenek, main sama soang peliharaan kakek, dan silaturahim dengan saudara-saudara, kali ini berbeda. Saya sudah menjadi orang yang kena virus traveling. Jadi perjalanan pulang kali ini harus dipenuhi dengan foto jalan-jalan di daerah yang seharusnya sudah familiar ini dong. Tseeeer.. Oke deh ki sanak! Maka daripada itu, mulailah saya explore apa yang bisa digali dari Makassar, khususnya desa Takalala – Soppeng.
1. Mengejar sunset Pantai Losari
Hampir semua orang yang bertandang ke Makassar pasti menyempatkan diri untuk selfie-selfie di depan sunsetnya yang tetap cantik dan menarik serta mendorong perhatian. Begitu juga saya yang meskipun sudah mengabadikan foto di sini di tahun 2011 bersama tim ACI, kayaknya gak sreg kalo gak ke sini lagi. Dan seperti biasa, matahari terbenam pantai Losari tidak pernah mengecewakan.
2. Wisata Kuliner
Makassar = kuliner = makanan enak. Ada putu bere’ atau putu beras yang dibeli dari tetangga di pagi hari, sungguh sedap dinikmati begitu saja dengan secangkir teh manis hangat yang airnya dibakar di tungku, atau dicocol ke abon ikan cakalang. Di sana juga kami menyempatkan diri makan di Coto Nusantara daerah dekat Losari hingga Coto Makassar di Soppeng (depan lapangan) yang mana saya nambah buras (semacam lontong) berbiji-biji. Happy tummy, happy me!
3. Vila Yuliana – Watansoppeng
Mumpung masih di Soppeng, saya berkunjung ke villa yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi museum. Dulunya, Villa Yuliana diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan Ratu Yuliana dari Belanda yang berkunjung ke Sulsel. Selengkapnya tentang villa ini ini akan saya tulis di postingan lain. (Maklum kak, fakir postingan, nyahahaha.)
4. Foto Bersama Kalong di kota Kalong
Watansoppeng terkenal sejak dahulu sebagai kota kalong. Begitu menjejakkan kaki di tempat ini, udara akan terasa sedikit masam. Mungkin karena ribuan kalong yang bersarang di pohon-pohon besar soppeng secara kontinyu membuang air sembarangan, meski kotorannya tidak terlihat. Apa pasal kalong memilih daerah ini sebagai otoritas tempat tinggalnya? Padahal ini di kota yang terbuka, terang, dan tidak gelap, seperti biasanya tempat bermukim kalong atau kelelawar. Tidak ada yang tahu, namun sebuah legenda di sini pernah diceritakan oleh orangtua saya: Dulu semua kalong hilang dalam sehari, ternyata ada pohon yang tumbang di Soppeng pada hari itu.
Jadi si kalong yang pergi seakan-akan sebagai simbol adanya marabahaya. Konon juga katanya kalo orang luar kena kotoran kalong, bakal dapet jodoh orang Soppeng. Mungkin Mahe pernah kena kotorannya trus dibawa pulang ke Jakarta buat luluran biar beneran jadi kawin sama saya. Nyahaha. Jangan lupa melihat angkasa saat Maghrib berkumandang, langit akan terlihat hitam karena kalong yang dengan bersamaan melesat untuk mencari makan, dan akan kembali di waktu subuh.
5. Pemandian Alam Citta
Alam yang adem, pohon yang rimbun, sebetulnya dapat menjadi combo yang keren untuk pemandian alam Citta yang terletak di Desa Citta, sekitar 35 km sebelah Timur dari kota Watansoppeng. Namun sayangnya kolam yang airnya didapat dari sumber mata air segar ini kurang terawat sehingga banyak tembok kolam yang gompal, ataupun tembok bagian dalam kolam yang terlihat berlumut. Di sini, saya dan keluarga tidak mandi-mandi, cuman lihat-lihat, ngerendem kaki, dan sempet-sempetnya Babe gueh isengin bocah-bocah telanjang yang main di situ dengan ngumpetin baju mereka. :)) Ayo pemerintah setempat, coba dirapikan dan dibuat lebih elok. Tidak masalah jika harga tiketnya dinaikkan, malah akan lebih banyak lagi yang datang lho.
6. Pemandian Alam Banga
Dari arah Soppeng mari kita jokka jokka (jalan-jalan) ke arah Takalala rumah nenek saya. Namun terus lagi ke arah pasar dan sungai Cennae, karena kita mau mengunjungi pemandian alam Banga. Pemandangan ke arah sana sungguh memanjakan mata. Awan putih bergumul dengan campuran biru langit yang memesona. Untuk menuju kolam, kami harus menuruni tangga yang cukup banyak dan akhirnya sampai. Lagi-lagi, seperti di pemandian Citta, kolam di sini juga tampat tidak terawat. Kolamnya juga terlihat gelap, pokoknya bikin takut nyemplung. Belum lagi coret-coretan vandal yang tak kenal ampun. Tapi ada satu harta karun tersembunyi di sini, yaitu banyaknya kupu-kupu yang beterbangan bagaikan di taman nasional Bantimurung!
7. Mengunjungi tempat lahirnya Arung Palakka
Jadi kebetulan nih kecamatan daerah lahirnya Arung Palakka sama dengan tempat saya pulang kampung di Takalala, yaitu kecamatan Marioriwawo. Jadi sekalian foto-foto di depan patungnya deh. Siapa itu Arung Palakka? Menurut Wikipedia sih:
“Arung Palakka (lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, 15 September 1634 – meninggal di Bontoala, 6 April 1696 pada umur 61 tahun[1]) adalah Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672-1696. Saat masih berkedudukan sebagai pangeran, ia memimpin kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada tahun 1666. Ia bekerja sama dengan Belandasaat merebut Makassar. Palakka pula yang menjadikan suku Bugis sebagai kekuatan maritim besar yang bekerja sama dengan Belanda dan mendominasi kawasan tersebut selama hampir seabad lamanya”
Dan selain wara wiri sok-sokan jadi anak traveling hip ibukota yang bertandang ke kampungnya, tentu saja diri ini beranjangsana dengan keluarga-keluarga yang lama tak bersua. Plus juga sok-sok jadi anak lokal dengan sepedahan sore sekitar lapangan Takalala sambil nonton bola di lapangan sebelah rumah, dan juga naik delman ke pasar setempat yang cuman buka hari Selasa dan Sabtu. Tak lupa juga banyak-banyak mengambil foto dengan nenek dan buyut saya. Hamdallah sempat berfoto bersama, karena tidak lama setelah itu buyut saya yaitu Pung Sakinah berpulang ke Rahmatullah. Bahagia di atas sana ya Pung.. :) Btw gak usah nanya tentang tinggi badan saya kalo abis liat foto di bawah ini. Saya emang paling pendek di keluarga. Itu saya cuma 160 cm, Mama 167 cm, dan Nenek saya nyampe 175 cm. -__-”
Itulah cerita tentang pulang versi saya. Bagaimana cerita kamu tentang pulang? Bahagia? Sedih? Haru? Jangan lupa juga untuk bertandang ke cerita-cerita tentang Pulang yang ditulis oleh geng Travel Bloggers ID di bawah ini. Mari pulang untuk bertemu orang-orang tersayang.
- Indri – Cirebon: Mudik dan Perut yang Manja
- Olive – Merangkai Serpihan Kenangan di Peunayong
- Danan Wahyu – Mudik, Rindu Rumah
- Bobby – Tradisi Mudik di Keluarga Batak
- Fahmi Anhar – Tradisi Lebaran Di Kampung Halaman
- Farchan – Kepulangan yang Agung
- Vika – Sepatu Kakek
- Yofangga – Ibu, Aku Pulang
- Parahita – Mudik atau Tidak, adalah Pilihan
- Rembulan – Yogyakarta, Pulangnya saya..
- Bolang – Sebuah Cerita tentang Pulang
- Nugie – Selalu Ada Jalan Untuk Pulang
- Badai- Lebaran Terakhir Bersama Nenek
- Eka – Pulang adalah Kamu
23 thoughts on “Kamu Orang Jakarta atau Makassar?”
Tinggi ban get neneknya, Kali jaman skrg dah jadi model tuh
Dannn nenek aku langsing kak. Gak pernah gendut. God bless her. :))
Kirim salam
….ogi malaysia
Salam kenal. :)
Wiiii… kakak nyebut aku disitu, virustraveling haha *digeplak*.
Aku selalu suka rumah-rumah dikampung kak, yang tradisional, kyk rumah panggung itu.Kebayang duduk2 leyeh2 di tangganya. Aku suka kampungmu meski belum pernah menginjakkan kaki ke tanah makassar kak. hiks *kemudian minta tiket pp* :D
Nyahahaha, iya juga yaak aku baru ngeh. Di rumah panggung punya nenekku ini ada bale2 buat leyeh2 makan putu sambil ngeteh sembari liat kendaraan lalu lalang. Ayo kakkkk ke Makassar, nanti kita jokka jokka sambil mandre mandre! :D
Satu kata: bawa aku ke sana! *itu udah brp kata cuy!*
Jangan ngomong sama aku dong. Sama ruth sahanaya aja. “Bawa daaaakuuu pergi.. Saat kaauu kembaalii..”
lucky you kak tiw, masih bisa ketemu mbah buyut. aku enggak….
seru ya tradisi & alam di bumi celebes sana, belum pernah menginjakkan kaki di sulawesi, semoga suatu hari nanti!
Aamiin. Semoga bisa jokka jokka ke tanah Celebes khususnya Makassar, kakak! :)
Ayo ngaku yg bener kk, betawi apa sopeng? ;)0
Dari Soppeng tapi anak betawi aseli. *gak menjawab* x)
Wah…Makassar.
Minggu lalu akhirnya aku berkesempatan ke Makassar walau cuma 1 malam. Itupun karena kegiatan kantor sih. Hehehe.
Tapi dari dulu emang udah kepingin bingit ke Makassar gara2 jatuh cinta sama makanan Barongko.
Dan kemarin ga disia-siakan berburu Barongko untuk dibawain pulang ke Jakarta biar temen2 kantor bisa rasain.
Alhamdulillah pada sukak!! :D
Berharap suatu hari bisa ke sana lagi dan ke beberapa wilayah SulSel :)
Di rumahku lagi ada barongko nih. Main2 yuuk ke rumahku. :))
Orang bugis tepatnya..bukan makassar (beda kan sukunya). Soalnya.. Bapakku (alm) juga bugis tulen.
Hihi, iya, Bugis sukunya. Kalo gitu aku harusnya di judul “Kamu orang Betawi atau Bugis?” Gitu yaahh.. Toss dulu kita kakakkk..
Cewekna ogi
Wah bener tuh mba, matahari terbenam di pantai Losari jangan sampai terlewat jika sedang mengunjungi Makassar. Jadi kepengen lagi kesana nih mba… Hehehehe.
Ayo ke Makassar lagi! :)
baru nemu blog ini karen butuh rundown lamaran buat adik saya, eh ternyata ngelink juga sama blolgnya Aldi aka badai.
salam kenal titiw
Hahaha iya aku temen blognya kak badaaayy. Salam kenal juga kakaaak.. :)
wahh mantap lah ya itu coto makassarnya. dicatet ah siapa tau kesana kalo ke makassar :) kangen juga makan buras, pernahnya makan buras waktu di balikpapan haha
Hihi.. kalo mau nyoba bikin coto makassar sendiri search aja di blog ini ada kok resep coto makassarnya :D