Desember datang, hari Ibu menjelang. Apa arti Hari Ibu untuk saya? Sama saja dengan hari-hari lainnya. Palingan ada beberapa foto teman dengan Ibu atau anaknya di feed Instagram, twitter, facebook, ataupun social media lainnya yang berhuubungan dengan hari Ibu dan ucapan-ucapan manis untuk Ibu. Arti lain dari hari Ibu untuk saya adalah: SIBUK. Karena saya bekerja di sebuah situs parenting, hari Ibu adalah momen yang menjadi target operasi banyak brand dan agency untuk mengeluarkan segala amunisinya, seperti video Hari Ibu.
Jujur, saya kerap tidak enak hati ketika ada video yang berhubungan dengan Ibu. Video Hari Ibu apalagi. Dalam video-video tersebut, seorang Ibu adalah seseorang yang maha sempurna dengan level dewa. Dari kebaikannya, dari pengorbanannya, dari senyum yang ia tampilkan selalu di depan keluarganya. Ibu adalah orang yang paling pagi bangun, mengurus sarapan suami, memandikan anak, memasak makanan untuk keluarga, mengantar anak sekolah, dan tidur paling larut, tanpa lelah dan tanpa pamrih. Itulah “seharusnya” tampilan seorang Ibu.
Saya bercermin, dan melihat seorang Ibu yang betul-betul kontras dengan persona si Ibu di dalam video Hari Ibu. Saya bukanlah seorang Ibu di video Hari Ibu itu. Saya adalah ibu bekerja. Aktivitas sehari-hari saya adalah: Bangun, sarapan, pesan ojek, ke kantor, meeting, buka laptop, masih di depan laptop, masih meeting, masih conference call, dan masih di kantor juga, bahkan sering hingga larut malam. Dimana ketika saya pulang, Sherpa hampir pasti sudah terlelap sambil mendengkur tipis di atas ranjang kami.
Baca juga: Papoy dan Sherpa si Pelancong Cilik
Apakah saya malu? Tidak. Saya tidak malu dengan status saya sebagai ibu pekerja. Namun saya terkadang sedikit sedikit takut dengan pandangan orang lain, terutama pandangan suami, orangtua, mertua, dan anak saya tersayang. Apakah saya adalah istri yang ia harapkan? Apakah saya adalah Ibu yang ia dambakan? Apakah saya adalah anak yang dapat dibanggakan?
Di saat Ibu lain memasak sarapan untuk keluarganya, yang saya lakukan adalah meminta mbak di rumah untuk membuatkan sarapan. Sementara saya buru-buru mandi, masih lelah sekali karena baru tidur jam 2 pagi, atau malah sudah ada di jalanan lagi untuk meeting pagi. Di saat Ibu lain menyiapkan air hangat untuk mandi si kecil, hal paling pol yang bisa saya lakukan adalah mencium keningnya dengan buru-buru karena tukang ojek sudah sampai di depan rumah untuk menjemput.
“Ahhh, gak masalah lah jadi Ibu bekerja. Kalau tidak bekerja, nanti fondasi rumah tangga bisa goyah karena uang dari suami pas-pasan”. Hamdalah pekerjaan suami saya sangat cukup hasilnya untuk menafkahi keluarga kecil kami. Saya bekerja karena.. Saya tetap menjadi saya ketika saya bekerja. Setelah melahirkan, enam bulan lamanya saya tidak bekerja kantoran. Masih freelance mengerjakan beberapa kerjaan dari para karib sih. Namun, saya ternyata stress. Saya lelah sejadi-jadinya. Saya menjadi Ibu yang lebih sering menghardik anak. I was worn.
Dan ketika akhir tahun lalu saya bekerja lagi, saya merasa.. Bahagia. This is the way that I should take. Kelelahan menjadi Ibu rumah tangga sangat berbeda dengan lelahnya menjadi Ibu bekerja. Saat di rumah saja, saya tidak ada henti-hentinya “bekerja”, namun saat lelah di kantor, saya dapat sedikit ngaso minum di kafe sebelah. Atau sesimpel ngobrol wira wiri dengan teman kantor. Saya memilih menjadi Ibu bekerja.
Lalu apa kata dunia kalau mendengar alasan saya bekerja bukan semata-mata untuk membantu ekonomi keluarga? Apakah otomatis saya menjadi Ibu yang menjadi sarapan empuk gunjingan ibu-ibu lain? Apakah otomatis saya menjadi perempuan durhaka yang seakan-akan tidak menyukuri apa yang ia miliki? Dan gaung yang paling terdengar dalam relung hati saya sendiri adalah: Apakah saya sudah menjadi Ibu yang baik?
Baca juga: Refleksi Perjalanan Menjadi Ibu di Hari Ibu
Dua ratus tiga puluh lima jempol saya berikan kepada ibu rumah tangga yang mencurahkan segalanya bagi keluarga di rumah. Hebaaaaat setengah mati loh kalian. Sumpah. Suer. Dan ketika saya sudah punya anak, saya baru sadar bahwa Mama saya adalah sosok Mama yang super woman. Membesarkan 3 anak dengan role 100% Ibu rumah tangga. Saya menjadi lebih mengerti kenapa Mama sering marah jika kami berantakin rumah. Jadi lebih tahu alasan Mama baper ketika kami membandingkannya dengan Mamanya teman.
Lalu apa yang sebetulnya saya butuhkan? Bukan kalimat “Nggak usah kerja lagi moy. Semua bisa Papoy tanggung” dari suami. Karena saya bekerja bukan hanya semata-mata soal uang. Yang seperti saya dan Ibu-ibu bekerja lain harapkan adalah kalimat dukungan khususnya dari suami, anak, dan orangtua. Bahwa derajat kami sama dengan ibu rumah tangga. Tidak harus tersurat, namun secara tersirat sediikiiittt saja bahwa mereka bangga punya istri, ibu, ataupun anak seperti kami.
Di penghujung hari Ibu, saya menonton video ini. Dan saya tersenyum. Video ini memperlihatkan kebanggaan sesama Ibu dengan role mereka masing-masing. Ibu rumah tangga memuji Ibu bekerja. Ibu bekerja memuji Ibu rumah tangga. Kami semua sama. Tidak ada pekerjaan atau peran yang lebih baik. Jadi daripada saling nyinyir, mari saling rangkul, demi kebahagiaan kita bersama. We are strong in our own way. Kita semua sama. Kita semua Ibu. Selamat Hari Ibu.
3 thoughts on “Saya Bukanlah Seorang Ibu di Video Hari Ibu”
“Don’t compare yourself to other mothers. We are all losing our shit. Some women just hide it better than others.”
untuk ini, terima kasih telah menuliskannya, tiw. :)
Sama2 kak ema. Selamat hari ibu untuk kita. :’)
ibu dan bapak adalah orang paling di hormati